31 May 2012

Thanks, Keegan :)


¨You have a choice. Live or die. Every breath is a choice. Every minute is a choice. To be or not to be¨ -Chuck Palahniuk

Ini lah semacam sebuah pengakuan : Saya tidak pernah membaca buku karya Palahniuk, not even once. Namun saya penggemar pandangan-pandangannya menyoal hidup dan mati. Salah satunya adalah yang saya jadikan pembuka dari tulisan blog saya kali ini. 

¨Setiap manusia memiliki pilihan. Untuk hidup atau mati.¨

Saya percaya arti kata-kata tadi melebihi sekedar memilih untuk tetap hidup atau bunuh diri karena beragam alasan. Meski terkadang, di saat-saat terlemah, saya cenderung setuju dengan ungkapan termasyhur dari tokoh pergerakan Universitas Indonesia, Soe Hok Gie, ¨nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,¨ namun pada akhirnya saya menyimpulkan: Soe dan setiap manusia yang menolak kehidupan, tak lain adalah mereka-mereka yang memilih menyerah. Dan dewasa ini, menyerah bahkan tak lagi menjadi suatu pilihan. 

Tulisan ini terinspirasi dari berita tewasnya mahasiswi Yale, Marina Keegan, 22 tahun, yang tewas dalam kecelakaan beberapa hari seusai upacara kelulusannya dari jurusan writing di salah satu perguruan tinggi Ivy League, berlokasi di New Haven tersebut. Ia dinyatakan tewas di tempat beberapa saat setelah mobil Lexus yang dikendarai kekasihnya menabrak sisi kanan pembatas jalan di Massachussets. 

The inspiring young Marina Keegan

Berita duka seperti ini mungkin dapat kita baca dan lihat di ragam media setiap saat. Manusia lahir dan berpulang hampir dalam kisaran setiap detik. Semacam kelumrahan yang telah menjadi bagian dari takdir alam. 

Namun berita duka tentang Keegan mengajarkan banyak hal, bahkan pada saya, yang terentang jarak dan tidak pernah sekalipun mengenal siapa ia. Seperti yang diungkapkan Palahniuk, sosok Keegan, melalui beragam liputan dan artikel yang ramai memenuhi dunia maya seusai tragedi kecelakaan yang merenggut nyawanya, memperlihatkan betapa ia telah secara berani memilih apa yang ia inginkan dalam hidupnya. To be or not to be.

Yale Daily News, tempat dimana Keegan mengasah kemampuan menulisnya semasa berkuliah, menetapkan perempuan muda ini sebagai ´a prolific writer, actress, and activist.´  Tulisan-tulisannya telah dimuat di media internasional seperti The New York Times dan The New Yorker. Kecintaan mendalamnya pada dunia tulis menulis diperlihatkannya saat ´menantang´ penulis Mark Helprin, yang dalam salah satu acara di Yale berkelakar pada para mahasiswa untuk tidak memilih karir sebagai penulis karena kemungkinan untuk tidak sukses pada bidang ini teramat besar (dibandingkan bidang-bidang lainnya). 

Salah satu profesor yang mengenal Keegan, Anne Fadiman, menceritakan pada Yale Daily News ingatannya tentang peristiwa tersebut:

¨I just remember this beautiful, articulate woman standing up and clearly not willing to be cowed by this famous writer, contradicting him, speaking up, declaring her determination to try, declaring her determination to ignore his discouraging words.¨

Bahwa siapapun, apapun dan bagaimanapun caranya, tidak ada satu hal yang mampu membendung Keegan ketika sampai pada persoalan memilih apa yang ia percayai dalam hidup. 

Selepasnya dari bangku perkuliahan, Keegan direncanakan akan memulai karirnya sebagai editorial assistant di The New Yorker pada bulan Juni mendatang. Awal karir yang mungkin selama ini diinginkannya, dan melalui perjalanannya telah ia capai, namun usia tak cukup panjang untuk membiarkannya terus berkarya. 

Tak ada bacaan yang mampu membuat saya terinspirasi oleh perempuan yang lebih muda satu tahun dari saya ini, selain tulisan terakhir karya Keegan untuk Yale Daily News. Membaca tulisannya ini, menyadarkan saya yang pernah selama kurang lebih tujuh belas bulan lamanya berada di dataran Amerika Selatan, dan kembali ke Indonesia dengan persepsi bahwa saya telah gagal. 

Saya tidak melanjutkan karir yang saya rintis sejak dua bulan pasca saya dinyatakan lulus sidang skripsi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di bulan Agustus 2010 hingga awal tahun 2012 ini, dikarenakan satu alasan: Saya merasa saya tidak mampu berada disini (Peru dan sekitarnya) lebih lama lagi. Keinginan saya untuk pergi dari Indonesia menuju Peru di akhir tahun 2010 dengan bayangan, ¨I can change the world,¨ ternyata tidak didasari ambisi yang mampu membinasakan rasa takut macam apapun. Dalam perjalanannya, saya meninggalkan semuanya. Saya merasa marah pada sistem yang ternyata tidak sejalan dengan apa yang saya percayai. Saya seakan tidak punya kuasa sedikitpun untuk itu. Saya terus berkubang pada satu titik kesalahan utama saya: terus menerus menyalahkan keadaan.

Saya merasa gagal. Meski di dasar hati saya tetap memiliki begitu banyak sketsa akan inisiatif yang kelak akan saya gagas untuk menghentikan kelaparan dan membantu meningkatkan kualitas pendidikan bagi masyarakat miskin (dua hal yang menjadi concern utama saya dalam bidang pembangunan), seringkali saya tetap merasa: Saya pernah gagal.

Tulisan terakhir sebelum Keegan tertidur selamanya berikut inilah yang membangunkan saya dari ´tidur panjang´ saya sendiri. Dan dengan senang hati, saya akan menampilkannya di bawah berbentuk kutipan-kutipan.

Gagal, sukses, adalah permainan pikiran. Kegagalan yang sebenarnya, kini saya percaya, adalah apabila saya tidak pernah berani memulai. Dengan kepercayaan ini, kini saya mengutarakan pada diri saya sendiri, bahwa kepulangan saya dari Amerika Selatan bukanlah sebuah kegagalan. Saya hanya memilih mundur sejenak untuk maju dengan pergerakan dan misi yang lain. Yang saya percayai akan menjadi jiwa dari kehidupan saya, yang bergema dalam setiap tarikan nafas dan derap langkah saya ke depan. Dunia ini milik mereka-mereka yang yakin pada apa yang dilakukannya. The changemakers, the agent of tomorrow.

Terima kasih Marina Keegan. Rest in Peace :)



From ¨The Opposite of Loneliness¨ by Marina Keegan (Yale Daily News)

¨The best years of our lives are not behind us. They´re part of us and they are set for repetition as we are grow up.¨

¨We have these impossibly high standards and we´ll probably never live up to our perfect fantasies of our future selves. But I feel like that´s okay.¨

¨We´re so young. We´re so young. We have so much time. There´s this sentiment I sometimes sense, creeping in our collective conscious that it is sometimes too late. That others are somehow ahead. More accomplished, more specialized. More on the path to somehow saving the world, somehow creating or inventing or improving. That it´s too late now to BEGIN a beginning and we must settle for continuance, for commencement.¨

¨For most of us, however, we´re somewhat lost in this sea. Not quite sure what road we are on or whether we should have taken it. If only I had majored in ________, If only I´d gotten involved in __________, If only I´d thought to apply for __________. What we have to remember is: WE CAN STILL DO ANYTHING.¨

¨The notion that it is too late to do anything, is comical. It´s hilarious.¨

¨Let´s make something happen to this world.¨


Read the rest here.

03 May 2012

Hanya Pemikiran Sederhana

Tepat kemarin di tanggal dua Mei, Indonesia melewati apa yang disebut sebagai ¨Hari Pendidikan Nasional.¨ Sebuah kebohongan apabila saya menyebutnya sebagai sebuah perayaan, karena memang tak nampak perayaan apapun selama satu hari tersebut. Meski begitu banyak figur yang dikenal di negeri ini mengungkapkan pandangan-pandangannya dalam  akun Twitter mereka masing-masing, namun kesemuanya tak lebih dari opini yang terbataskan oleh aturan 140 karakter ala jejaring sosial tersebut. Sebetulnya apa makna penyebutan ´Selamat Hari Pendidikan Nasional´ apabila tak tampak usaha Pemerintah menyadarkan masyarakat perihal urgensifitas pendidikan itu sendiri?



Saya bukan seorang Anies Baswedan yang melahirkan gagasan brilian ´Indonesia Mengajar,´ yang menunjukkan inisiatifnya sebagai seorang akademisi yang ingin menyuburkan dunia keilmuan  di seluruh pelosok negeri ratusan ribu pulau ini. Saya bukan pula Jacqueline Novogratz yang menggagas berdirinya ´Acumen Fund,´ sebuah lembaga nirlaba dengan tujuan utama mendanai proyek-proyek vital di negara berkembang yang menghubungkan pihak pemilik dana (venture capitalist) dengan masyarakat ´kecil´ dan ragam kebutuhannya. Dan saya juga bukan Ashoka Fellow atau Kiva Fellow, yang dapat berbuat ´sesuatu´ sesuai dengan skema, dana, dan arahan yang telah dibentuk oleh para development experts di dalam jajaran board of directors-nya. Saya ini hanya penyimak dalam makna yang sederhana. 

Saya menyimak pandangan-pandangan menarik yang disajikan dalam rangkaian video di situs TED yang didirikan kurator favorit saya, Chris Anderson. Lewat TED, saya diajak ´berkenalan´ dengan para tokoh yang dalam kesederhanaannya masing-masing,  kesemuanya menyimpan mimpi-mimpi besar untuk membangun pendidikan masyarakat global dengan upaya yang variatif dan tentunya inovatif. Arvind Gupta, memperlihatkan kreatifitasnya menghasilkan beragam permainan edukatif untuk anak-anak yang kesemuanya dihasilkan melalui limbah dan sampah. Tujuannya sederhana: Ia ingin membantu mengurangi jumlah sampah yang banyak ditemukan di sekitar lingkungannya tinggal, dan sekaligus menghadirkan gairah belajar yang lebih besar di kalangan anak-anak kecil. Atau simak pula sang empunya Microsoft yang telah lama dikenal sebagai salah satu filantropis termasyhur dunia, Bill Gates. Dalam video ini, ia memaparkan pandangannya tentang betapa pentingnya peran guru dalam perjalanan suatu bangsa. Perhatiannya terhadap bangsa-bangsa di Afrika yang dihantui dengan kehadiran beragam penyakit mematikan seperti malaria, disampaikannya dalam presentasi 18 menitnya ini. Ia, dan juga istrinya Melinda, telah menunjukkan pada dunia apa yang kini dikenal sebagai ´capitalists-cum-philantropists.´ Keduanya mendirikan ´The Bill and Melinda Gates Foundation,´ sebuah upaya ambisius yang didasari ´15 guiding principles,´ bertujuan untuk menghadirkan dunia dengan kesejahteraan yang lebih merata bagi semua. Dalam dunia pendidikan, selain menyumbang donasi untuk pembangunan pendidikan di negara-negara termiskin di sahara Afrika, foundation ini juga menjadi penyandang dana terbesar di balik bertahannya situs penyedia pendidikan gratis ternama, Khan Academy.

Berbicara tentang pendidikan, tentu saya tak akan lupa pada sosok Butet Manurung. Dengan keinginan kuat dan rasa sayangnya pada masyarakat pedalaman, ia mendirikan Sokola Rimba, sekolah yang mengajarkan bermacam hal pada anggota suku-suku di daerah yang tak terjangkau pelayanan pendidikan resmi pemerintah Indonesia. Dengan pendekatan antropologis, Butet telah menunjukkan pada saya pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, bahwa menjadi pendidik tak perlu terafiliasi pada institusi apapun. Apa yang dilakukan Butet adalah jati diri luhur dari pendidik sejati. Mengajar tanpa meminta, membumi dan mengabdi. 

Kini, negeri ini membutuhkan kelahiran Butet Manurung yang lain. Yang tak peduli pada skema yang ada, yang berdedikasi tinggi, dan tak peduli pada tatanan sistem. Saya rasa untuk menghasilkan perubahan, harus diawali dengan pemahaman yang mendalam tentang keadaan yang berjalan. Yang dilanjutkan dengan konseptualisasi mengakar, dan bertujuan menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan. Maafkan saya apabila terdengar seperti menceramahi, namun sesungguhnya saya menceramahi diri saya sendiri. Saya harus terus berkata, ¨setelah menyimak, setelah membaca, setelah memperhatikan manusia-manusia yang berdedikasi, apa selanjutnya?¨ 

Mengingat ucapan pemikir, penulis, pemerhati gerakan sosial Amerika Serikat, Howard Zinn, ¨we dont have to engage in grand, heroic actions to participate in the process of change. Small acts, when multiplied by millions of people, can transform the world.¨ Jadi saya berkata pada diri sendiri, ¨mari menjadi pendidik bagi sesama. Satu demi satu, perlahan dalam waktu, namun pasti dalam ambisi.¨ Dan itulah kesadaran saya di Hari Pendidikan Nasional kemarin. Kesadaran yang saya tanamkan dalam hati dan sampaikan dalam tulisan.  Yang semoga, dalam kurun waktu yang tak lama, akan menjadi bagian dari implementasi nyata. 

Namun kembali, sesungguhnya, tulisan ini hanya pemikiran sederhana. Benar-benar sederhana :)