26 November 2011

Diplomacy? What is Diplomacy Now?


Questioning ´Diplomacy´ and its existence in contemporary global political order

China will tell you what it is.

For Beijing, it is more than what Ernst Gellner wrote on his masterpiece ¨Nations and Nationalism,¨ where he mentioned the term as something inseparable from a powerful political force. Diplomacy for Chinese is not through political approach, but more into its economic stance towards global order, or in a constelation of what Yale´s scholar Immanuel Wallerstein called as ¨The Modern World System.¨

When it comes to negotiation, China only has two things to say: FOLLOW ME, and seems like they already have many followers who will never be able to say (referring to twitterland) Follow Me Back. Thanks to its ability to stand strong among the global economy crisis and the continuing strength of its currency, has made economist even jokingly calculated that a year in Chinese time is equivalent to five years anywhere else . They are clearly unbeatable. Clearly.

No wonder, lately, I believe Chinese understand the idiom ¨Vini, Vidi, Vici¨ (I came, I saw, I conquered) more than the real Romans.

Apparently, when it comes to ´diplomacy,´ the use of this word are just too demanding for China. Just like now, when the never-ending disputes of South China Sea (SCS) appear and raise another tension again among its claimants (Vietnam, Philliphines, Malaysia, and Brunei), China has made it very clear that they will always be stony-hearted on this issue, even if they announced the other way around.

Henceforth, before the East Asia Summit in Bali, China´s Assistant Foreign Minister Liu Zhenmin confidently asserted that disputes in the South China Sea should be resolved between the ´parties concerned´ bilaterally. This short statement, according to former secretary-Ministry of External Affairs of India, RS Kalha, showing that, clearly, China little did realize how isolated they had become in this issue.

In fact, for other claimants, this case is too severe to be solved under bilateral and so-called diplomatic way. But so far, Chinese still hold the remote control. They know how to act and when is the right time to.

23 November 2011

Feel it.

FEEL IT. YOUR FREEDOM TO ASK AND KEEP ASKING.

....terdapatlah mereka-mereka yang mempertanyakan ketuhanan, agama, dan segala dogma tentang ada dan tiada. Lalu oleh mereka-mereka yang mengaku beragama, para manusia yang bertanya ini dianggap sebagai kaum-kaum yang terhina, dicaci dan selayaknya dipaksakan untuk mengakui apa-apa yang selama ini diakui para umat beragama. Bagi mereka, bertanya adalah awal dari semua kebimbangan, dan ini merupakan gerbang menuju hal yang ditakuti: kehilangan para sesamanya. Namun sesungguhnya, tidakkah mereka yang beragama itu mengerti satu inti dari situasi ini? Bahwa dengan bertanya, maka sama dengan mencari tahu. Bahwa dengan mencari tahu, maka timbul kesadaran untuk membuktikan mana yang benar dan mana yang salah. Dan tidakkah itu inti dan segala inti dari ilmu? Untuk dipertanyakan, dicari tahu, dan dibuktikan? Dan bukankah menurut agama yang mereka percayai, sesungguhnya ditinggikan derajat para manusia yang berilmu? Maka pertanyaan selanjutnya adalah, siapakah di antara dua kaum ini yang akan ditinggikan derajatnya? Yang diam dan menerima, atau yang bertanya dan mencari tahu? -AA-

14 November 2011

Surat Terbuka Untuk Ayah : Patria o Muerte, Papa!


Teruntuk seorang lelaki yang ku kenal 23 tahun lamanya sembari menarik nafas di bumi. 

Surat terbuka untuk Ayah. 

Pernah ada suatu hari di dalam lembaran memori otak ku yang tidak ada apa-apanya ini, aku mendengar Ayah berkata, ¨Kalau kamu banyak makan sayur, maka kamu akan bisa terbang seperti burung di angkasa sana.¨

Dengan ketololanku di usia itu, aku percaya. 

Aku ingat betapa seringnya sejak saat itu aku mengkonsumsi sayuran, ditambah dengan kelezatan masakan ibu tercinta, seorang ibu rumah tangga yang membaktikan dirinya untuk keluarga, aku semakin berharap hari itu akan tiba. Hari dimana aku akan bisa menyapa burung-burung di angkasa raya dan mentertawakan entitas-entitas kecil yang terlihat dari ketinggian di atas sana.

Ayah, dengan bertumbuhnya aku dan pribadiku sebagai manusia, aku tersadar bahwa semua itu hanya untaian kata yang sengaja Ayah rangkaikan untukku, agar aku mau memakan sayuran, yang semuanya tidak lebih untuk alasan kesehatan.

Namun lebih daripada itu, sesungguhnya terselip satu makna dari kalimat yang Ayah berikan padaku saat itu, yang hingga saat ini tanpa Ayah sadari selalu membuatku mengingat lagi kata-kata Ayah dulu itu: Bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, termasuk untuk terbang lebih tinggi daripada rasionalitas yang ada, menerjang jauh segala paradigma dan terlepas dari belenggu norma-norma. 

´MUSTAHIL´ tidak lebih dari sebuah kata, bukan begitu Ayah?

Ayah, bukan kah bukannya tidak mungkin kita sebagai anak bangsa Indonesia yang selalu disebut sebagai generasi yang datang dari negara dunia ketiga oleh para penjajah imperialis dari negeri seberang, akan dapat suatu hari nanti berdiri tegak menyatakan, ¨Kami putra-putri Indonesia, bukan putra-putri negara dunia ketiga,¨ bukankah begitu, Ayah? 

Ayah, kita -manusia- adalah saksi sejarah. 

Dengan hampir setengah abad usia Ayah, tentu Ayah ´menyaksikan´ sendiri bagaimana dulu mahasiswa-mahasiswa di tanggal 15 januari 1974, memblokade pangkalan udara Halim Perdanakusuma untuk menolak kedatangan perdana menteri Jepang (Tanaka Kakuei) dan pihak asing yang ingin menegosiasikan perihal modal asing di negeri kaya raya ini? Aku yang belum terlahir ke dunia pada saat itu, dewasa ini cukup terkesima membaca cerita tentang Malapetaka Limabelas Januari (Malari) di beragam media dan buku sejarah.

Seorang anak menyaksikan mahasiswa berdemonstrasi dalam peristiwa Malari
(Source; Google Search)